Text
Ladang Perminus
Ladang Perminus berisi intrik di kalangan petinggi di Perusahaan Minyak Nusantara pada tahun ‘70an, saat berita tentang minyak ramai di surat kabar.
Gaya hidup petinggi perusahaan itu dimunculkan berulang-ulang. Kerjanya sehari-hari adalah menerima tamu yang kebanyakan adalah kontraktor asing maupun lokal. Tamu itu datang dalam rangka lobi untuk mengegolkan proyeknya. Kalau petinggi itu pergi ke luar negeri –dalam buku ini yang sering didatangi adalah Singapura, bos-bos kontraktor di sana menjamunya semaksimal mungkin, dari mengurusi transportasi, akomodasi, sampai gadis-gadis untuk menemani. Hadiah-hadiah diberikan sebagai oleh-oleh. Lobi-lobi juga dilakukan dalam keadaan yang tidak formal, seperti dalam jamuan di suatu pulau atau sambil main golf. Tapi, pada suatu adegan yang menentukan digambarkan juga lobi yang menegangkan: perundingan terjadwal antara tim Perminus dan sebuah kontraktor Belgia yang melibatkan tim-tim ahli.
Adalah lazim seorang petinggi memiliki obyekan dengan (mantan) rekan bisnisnya. Obyekan ini dijadikan celah untuk mengeruk keuntungan dari kantornya. Pada suatu kunjungan kerja seorang petinggi ditawari kontraktor-kontraktor untuk mendirikan perusahaan kapal, penerbangan, dan penginapan untuk menunjang proyek kerja sama antara mereka. Seringkali lewat relasi dengan kontraktor di luar negeri petinggi itu membuat perusahaan di luar negeri. Obyekan dan segala hadiah ini adalah upaya untuk menjaga hubungan baik demi kelancaran tender.
Dalam keadaan demikian saling sikut tidak terelakan. Kontraktor berlomba-lomba untuk menjadi yang paling pemurah di mata petinggi-petinggi. Orang yang dekat dengan petinggi dipepet supaya berpihak pada mereka. Kalangan petinggi sendiri tidak jarang mengorbankan bawahannya demi menyelamatkan kedudukannya, seperti terjadi pada saat tersiarnya berita yang mengindikasikan ada korupsi di Perminus. Orang-orang jadi saling curiga. Yang jabatannya tidak terlalu tinggi mendekati bagian pengamanan yang dikuasai oleh orang militer supaya aman. Orang yang punya relasi dengan orang medialah yang kena, tidak peduli apakah memang dia orangnya yang membocorkan informasi atau bukan. Kalau seorang petinggi tidak menyetujui kemungkinan kenaikan derajat bawahannya, dia bisa saja menjatuhkannya lewat relasinya dengan pejabat-pejabat di lembaga lain. Tidak jarang bawahan mesti memberikan hadiah yang didapatnya dari kontraktor pada petinggi. Para pegawai diam atas dasar tahu sama tahu.
Tapi, dalam buku ini keadaan korup itu tidak dikesankan seburuk itu. Semua itu ditampakkan seperti sesuatu yang biasa saja karena dilihat dari mata salah seorang petingginya, Hidayat Martakusumah. Sebagai orang yang pernah menjabat sebagai kepala Badan Koordinasi Kontraktor Asing dan asisten Wakil Direktur sebelum memutuskan pensiun, dia sudah biasa melihat semua penyelewengan itu. Meskipun begitu, sebagai veteran yang punya visi kebangsaan warisan Angkatan ’45, dalam kebungkaman itu diam-diam memanfaatkan jabatannya untuk membantu orang yang tidak lebih beruntung darinya. Tiap kali diisyarati kontraktor yang ingin memberinya upeti dia malah menyuruh mereka untuk mempekerjakan tenaga Indonesia dan mengurangi jumlah tenaga asing di perusahaannya. Banyak orang susah yang dibantunya mendapatkan pekerjaan lewat jabatannya. Dia mengajak teman-temannya semasa sekolah di zaman Jepang –orang-orang yang lebih disenanginya ketimbang orang-orang yang sehari-hari ditemuinya di kantor—untuk membantunya membangun ekonomi warga di Kadudampit, di kaki Gunung Gede.
Ketinggian budi ini ditekankan lagi lewat keisengannya dengan seorang pramugari muda. Perempuan itu sangat kesengsem padanya, sedangkan dia yang sama sekali tidak punya pikiran seksual terhadap perempuan itu memperlakukannya seperti anaknya. Pada perempuan itu dia mengakui status perkawinannya. Pada istrinya, yang tidak kalah tinggi budinya, dia santai saja bercerita tentang pramugari itu. Hubungan ini dikontraskan dengan perselingkuhan temannya yang merupakan wujud penyalahgunaan kekuasaannya, padahal Hidayatlah yang memberikan jabatan itu padanya. Hidayat ditampilkan sebagai manusia teladan keterlaluan di tengah lingkungan yang korup. Makanya, wajar kalau kemudian dia dicalonkan teman-temannya untuk jadi gubernur Jawa Barat.
Tapi, agaknya kontrol diri yang tampak dipermukaan itu adalah hasil pembendungan gila-gilaan kedongkolannya. Dalam obrolannya tentang nasib orang susah tersirat amarahnya pada para koruptor. Dia juga sebenarnya gampang panasan terhadap orang-orang yang dianggapnya tidak becus menjalankan tugasnya sebagai pejabat tinggi, seperti yang ditunjukkannya saat akhirnya menyetujui pencalonannya karena yang dikabarkan akan menjadi calon gubernur juga adalah orang yang dianggapnya sangat korup. Malahan sekalinya bendungannya jebol kesehatannya langsung terpuruk, seperti saat dia menyadari perselingkuhan temannya atau saat dia dikabari bahwa atasannya yang korup dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Dia kena serangan jantung sampai harus diopname.
Sekalipun seorang yang berbudi tinggi dan punya daya dijadikan tokoh utama untuk menghadapi lingkungan korup itu, kesan yang ditunjukkan buku ini adalah kekalahannya. Memang, lambang korupsi dalam buku ini pada akhirnya kalah. Tapi, kekalahan itu dibikin mudah saja. Dimatikan begitu saja dan korupsinya terbongkar. Sudah. Selain itu, pada akhirnya Hidayat mengiyakan juga bahwa zaman ini bukan untuk orang-orang seperti dirinya.
Ladang Perminus adalah suatu gambaran pesimistis tentang perlawanan terhadap korupsi sekalipun dari sudut pandang sosok yang punya daya.
02573 | 813 RAM l | My Library (800) | Tersedia |
02588 | 813 RAM l | My Library (800) | Tersedia |
02589 | 813 RAM l | My Library (800) | Tersedia |
02620 | 813 RAM l | My Library (800) | Tersedia |
02621 | 813 RAM l | My Library (800) | Tersedia |
02622 | 813 RAM l | My Library (800) | Tersedia |
02623 | 813 RAM l | My Library (800) | Tersedia |
02624 | 813 RAM l | My Library (800) | Tersedia |
02646 | 813 RAM l | My Library (800) | Tersedia |
08557 | 813 RAM l c.11 | My Library (800) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain