Text
Requiem Ingatan
Sebelum dia (Irma Agryanti) menetap di Mataram – NTB, sempat belajar sastra di Solo. Kisah perjalanan kepenyairannya memang belum lama tapi karena kegetolannya berpuisi begitu kuat telah menjadikan dia dikenal sebagai salah satu penyair perempuan di Indonesia. Setelah beberapakali puisinya muncul di media nasional, termasuk Kompas, dia menerbitkan kumpulan puisi yang diberi judul Requiem Ingatan. Dalam buku ini terdapat 35 buah puisi karya dirinya.
Nyanyian kematian bagi kenangan. Secara global kita bisa merumuskan puisi-puisi Irma ini pada tema tersebut. Bagi Irma, puisi diposisikan sebagai sarana untuk mengekalkan sebuah kisah, meski dalam kenyataannya kekekalan itu hanya berupa semacam perayaan(requiem) saja. Dan kata ingatan di sini identik dengan kenangan, yang dalam hal ini sebagian besar adalah kenangan yang murung. Oleh karena itulah dia menamainya dengan requiem ingatan(nyanyian kematian bagi kenangan) yang secara implisit kisah itu tidak ingin terulang kembali.
Berikut adalah pembacaan ke-35 puisi Irma. Meski seringkali ada metafor dalam narasinya namun secara jelas dia selalu memberi satu kalimat kunci di setiap puisinya sebagai penunjuk maksud puisi tersebut. Secara menyeluruh puisi Irma dapat digolongkan menjadi lima kelompok.
Kelompok pertama adalah puisi yang mengulas tentang kisah masa lalu yang menyedihkan. Puisi-puisi berikut adalah Puisi Gapura(hal.19), sebuah kisah yang tidak mengenakkan terjadi sebelum kita benar-benar mengenal keadaan. Puisi Aku Tak Sedang Menulis Puisi Tentang Malam(hal. 23), sebuah kisah indah namun tidak benar-benar dikehendaki. Puisi Ikan-ikan Mengubah Matamu Menjadi Aquarium(hal. 25), kisah penyesalan yang datang dari yang disakiti. Puisi Pembabtisan(hal. 40), perayaan kesedihan yang justru membuatnya semakin merana. Puisi Pesta Pantai(hal. 46), kesedihan yang mendekam dalam keramaian. Puisi Yang Diingat dari Sebuah Dermaga(hal. 47), cerita sebuah kehilangan. Puisi Jalan Sunyi(hal. 52), tentang patah asmara. Puisi Surat-surat Basah(hal. 54), sebuah kenangan pahit. Puisi Ke Arah Marahari(hal. 55), sebuah penantian panjang. Puisi Di Rambutmu Angin Tak Lagi Mampir(hal. 56), sebuah kabar duka. Puisi Melankoli ingatan(hal. 57), sadar akan masa lalu yang harus dilepas. Puisi Kematian Jam(hal. 58), kesesakan di masa lalu, dan puisi Requiem(hal. 60), sebuah kehilangan yang menyesakkan dada.
Kelompok kedua adalah puisi tentang ketidakjelasan dan kebingungan harus bersikap. Puisi begini ada pada puisi Layang-layang(hal. 20), sebuah gambaran pribadi yang belum pasti, dan ingin terbebas dari sesuatu. Puisi Di Depan Pintu(hal. 29), tentang waktu yang tak terasa berlalu tanpa sempat kita mengidentifikasinya. Puisi Ke Balkon(hal. 30), sebuah penantian tanpa tahu kapan berakhir, dan puisi Mengejar Angin(hal. 41), sebuah usaha merekonstruksi pekerjaan yang sia-sia.
Kelompok ketiga adalah puisi yang berbicara masalah keindahan di masa lalu namun tetap jadi sesuatu yang tidak ingin diulang. Puisi berikut adalah puisi Dua Mata(hal. 26), seperti halnya ungkapan: aku ingin kau jadi yang terbaik untukku. Puisi Aku Mengingatmu sepanjang Jalan Tanjung Karang(hal. 27), seperti halnya kalimat: sepanjang jalan kenangan. Puisi Tamu(hal. 28), berharap indah dari sebuah kunjungan. Puisi Di dalam Ruangan(hal. 31), sebuah cinta tak tergantikan. Puisi Mata Kancing(hal. 49), hasrat untuk bercinta yang tiba-tiba datang. Puisi Nostalgia Pacar Kecil(hal. 50), semacam cinta lama bersemi kembali, dan puisi Amsal Rindu(hal. 53), sebuah kerinduan yang terjadi di akhir tahun.
Kelompok keempat puisi yang membahas tentang keadaan yang tidak beres. Puisi-puisi ini adalah puisi Ritual di Meja Makan(hal. 32), sebuah doktrin yang tertanan secara rutin. Puisi Di dalam Televisi(hal. 33), sebuah cerita ketergantungan yang akut. Puisi Sebuah Lorong di Kotaku(hal. 48), kisah buram di sudut kota dan puisi Kado Ulang Tahun ke 90(hal. 59), episode kisah yang terekam.
Kelompok kelima adalah puisi tentang kritisi terhadap keadaan, ada di puisi Ritus Ponsel(hal. 22), rahasia yang tidak pernah benar-benar menjadi rahasia. Puisi Lidah Kaum Betina(hal. 34), ulasan perempuan yang suka gosip. Puisi Penari(hal. 36), menjelaskan bahwa seorang penari yang baik adalah mereka yang menari dengan sukmanya. Puisi Patung Partini Tuin(hal. 38), pemaknaan tentang tanggung-jawab yang besar. Puisi Aku Membayangkan Sajakmu(hal. 42), ingin menyelami apa yang jadi masalah orang lain tidaklah gampang, dan puisi Anjing Api Artupudnis(hal. 44), kisah seorang hamba yang pergi.
Meski puisi Irma tergolong dalam lima kelompok yang berbeda tapi kelima-limanya sebenarnya adalah sebuah ingatan (kenangan) yang di requiemkan ( yang tak ingin hal itu terulang lagi). Lalu apakah semua puisi selalu berbicara tentang ingatan(kenangan)? Adakah puisi tentang kisah yang akan datang? Adakah kisah yang benar-benar ingin dikekalkan dalam puisi dan ingin diulang lagi? Sejatinya, semua pertanyaan itu adalah pilihan. Apa yang akan ditumpahkan dalam puisi adalah hak setiap penyair. Sebebas-bebasnya pilihan seorang penyair. Namun sepertinya hanya penyair yang sungguh-sungguh jujur yang sanggup mewujudkannya.
Seperti kejujurannya ketika suatu hari dia meragukan bahwa apa yang selama ini dia tulis tidak berdampak apa pun pada lingkungan sosial dan kebudayaan. Mungkin dia mulai berpikir bagaimana sebuah puisi yang meski tercipta dari apa yang ada di dalam dirinya akan dihubungkan dengan tema yang lebih besar. Ini berarti adalah sebuah proses dirinya untuk menjadi lebih besar lagi. Selamat berkarya, Irma.
02760 | 811 IRM r | My Library (800) | Tersedia |
03739 | 811 IRM r c.2 | My Library (800) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain